Thursday, March 11, 2010

Melting Pot

Pluralitas atau kebhinekaan bangsa ini adalah suatu realitas faktual dan empiris-historis. Oleh karena itu, bangunan unitarisme tidak akan utuh tanpa mengedepankan nation building. Itu berarti bangsa ini dibangun dalam perspektif multikulturalisme dalam segala dimensinya, baik sosial, budaya, ekonomi, religius, maupun etnik. Ternyata, dalam pekembangannya, yang lebih ditekankan adalah state building. Yang lebih dikembangkan adalah dimensi politik kenegaraan saja. Berbagai kebijakan dan wacana dilontarkan untuk mengukuhkan bangunan negara kesatuan dengan menghancurkan berbagai kekhasan kultur lokal dan etnik.
Indonesia adalah sebuah negara dan bangsa yang tersusun dan terbangun di atas beragam etnis, suku, budaya, religiositas, dan sistem nilai. Itulah realitas faktual yang secara empiris tak mungkin ditampik entah dengan kepentingan apa pun. Itu di satu sisi. Di sisi lain, ada “realitas imajiner” yang sering kita sebut “idealisme” yaitu “membayangkan” Indonesia sebagai satu entitas utuh tak terbagi dan terpecah. Dikukuhkanlah moto “Bhineka Tunggal Ika” menjadi semacam jembatan ajaib menghubungkan dua jenis realitas tersebut.
Akan tetapi, entah tercerahi oleh filosofi apa, atau barangkali karena yang diperjuangkan itu memang merupakan masalah hakiki dari hakikat kemanusiaan, aspirasi itu bukannya lenyap tetapi malah semakin bergaung. Sejarah bangsa ini mencatat betapa negara selalu sibuk menghadapi berbagai tuntutan agar jati diri suatu entitas budaya dan teritori tertentu diakui eksistensinya. Ada yang menginginkan kemerdekaan dalam arti penuh sebagai sebuah negara sendiri, ada yang menginginkan otonomi dalam pengertian internal self-government tetapi tetap dalam koridor kesatuan, ada pula yang menuntut federalisme. Tuntutan seperti itu semakin mengemuka seiring hembusan globalisasi yang membawa paradoks. Di satu sisi globalisasi membuat dunia ini mengerucut menjadi sebuah “desa besar” karena batas-batas dan sekat baik wilayah, politik, maupun kultur runtuh, tetapi di sisi lain berbagai ranah etnonasional dalam segala bentuknya itu justru semakin menemukan bentuk dan model ideal eksistensinya. Pada tingkat lokal, geliat kebangkitan besar-besaran gerakan etnonasional seperti itu mendapatkan tenaga tambahan berkat gerakan reformasi.
Berdasarkan paparan singkat di atas, kita bisa menemukan minimal dua permasalahan yang relevan diajukan di sini. Pertama, bagaimanakah kita (Negara) menyikapi kecenderungan etnonasionalisme yang merupakan konsekuensi atau ungkapan dari keanekaragaman budaya dan identitas? Dalam tulisan ini kami mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan dan perspektif multikulturalisme.
Untuk itu, kami mengurai dan membagi tulisan ini atas empat bagian. Pada bagian pertama, kami memaparkan apakah perspektif multikulturalisme itu sebenarnya, apa bedanya dengan pendekatan “masyarakat majemuk” dan pendekatan lainnya. Intinya, di sini kami melakukan penjernihan konsep dan istilah.

Paradigma Multikulturalisme
Multikulturalisme pada mulanya adalah terminologi dalam disiplin antropologi. Tetapi, sebagaimana lazimnya, istilah dan konsep dalam sebuah cabang ilmu kemudian digunakan juga dalam cabang ilmu lain dengan makna dan tujuan yang tentu saja sudah bergeser. Hal yang sama juga berlaku pada terminologi “otonomi” yang pada mulanya bermakna filosofis-eksistensial kemudian lebih kerap digunakan dalam pengertian politik. Maka penjernihan istilah dan konsep sangat perlu untuk menghindari bias pemahaman. Multikulturalisme adalah sebuah perangkat analisis terhadap realitas kebudayaan sebagai pilihan lain di luar beberapa pendekatan seperti asimilasionisme dan diferensialisme, atau mengikuti Giddens (1995), asimilasionisme dan melting pot.
Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan keragaman budaya atau multikulturalitas (plural cultural). Masyarakat majemuk lebih menekankan soal etnisitas atau suku bangsa yang pada gilirannya membangkitkan gerakan etnosentrisme dan etnonasionalisme. Sifatnya sangat askriptif dan primordial. Bahaya chauvinisme sangat potensial. Karena wataknya yang sangat mengagungkan ciri stereotip kesukubangsaan, anggotanya memandang masyarakat lain dengan cara pandang seperti itu juga. Masyarakat majemuk dengan demikian selalu mengeram konflik dalam dirinya yang setiap saat siap memanifes baik secara halus lewat kata-kata sindiran maupun secara kasar melalui tindakan kekerasan.
Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep kulturalisme memang mengagung-agungkan perbedaan bahkan menjaganya laksana untaian aneka ratna mutu manikam. Tetapi, ia tidak berhenti di situ. Perspektif ini memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal dan oleh karenanya sama. Tetapi ketika bicara soal cara hidup (way of life), aturan berpikir (rule of thinking), dan pendirian atau prinsip hidup (state of mind), multikulturalisme justru melihat bahwa sungguh tidak adil kalau realitas keanekaan itu dinafikan entah dengan cara apa pun. Perbedaan dipandang sebagai kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial dan sosiabilitas manusia dengan dialog dan komunikasi. Masyarakat yang hidup dalam perspektif ini sangat mementingkan dialektika yang kreatif.
Watak masyarakat multikulturalis adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lain. Dalam perspektif multikulturalisme ini, baik individu maupun kelompok dari berbagai entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mereka. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Prinsipnya, aku bisa bersatu dengan engkau, tetapi antara kita berdua tetap ada jarak. Aku hanya bisa menjadi aku dalam arti sepenuhnya dengan “menjadi satu dengan engkau”, begitu sebaliknya, tetapi tetap saja antara aku dan engkau ada jarak. Jarak itu harus kita jaga dengan komunikasi, dialog dan toleransi yang kreatif.
Multikulturalisme adalah sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial bernuansa etnis, agama, ras dan berbagai identitas primordial lainnya. Selain pendekatan ini terdapat beberapa pendekatan lain yang hemat kami perlu diuraikan di sini secara sepintas. Dengan membandingkan multikulturalisme dengan pendekatan lain tersebut – selain dengan konsep “masyarakat majemuk yang telah diuraikan di atas – kita bisa memperoleh gambaran apakah multikulturalisme memang lebih unggul atau ideal untuk digunakan sebagai perangkat analisis.
Menurut Anthony Giddens (Sociology, 1995), terdapat tiga model pendekatan untuk pengembangan relasi etnik (atau entitas lain) di masa depan, yaitu asimilasi, melting pot, dan pluralisme kultural (multikulturalisme). Pembagian yang mirip dengan ini digambarkan oleh Maria Hartiningsih (Kompas, 14 Maret 2001) dan Profesor Parsudi Suparlan (Media Indonesia, 10 Desember 2001) yaitu asimilasionisme, diferensialisme, dan multikulturalisme. Dalam pendekatan asimilasionisme, terdapat pemilahan atas mayoritas dan minoritas. Minoritas melebur ke dalam mayoritas. Semua karakteristik khas yang melekat dalam entitas minoritas kemudian hilang ditelan karakteristik mayoritas. Di sinilah mitos pengorbanan menemukan pembenarannya. Asumsinya, dengan pembauran tersebut konflik dapat diredam.
Berbeda dengan asimilasionisme yang menyuburkan hegemoni mayoritas, pendekatan diferensialisme justru membiarkan semua entitas itu tumbuh. Tetapi, kontak, komunikasi, dialog sama sekali dihapus atau dihilangkan. Tak ada ruang untuk interaksi sosial. Konflik dihindari bukan dengan melenyapkan salah satu entitas, tetapi dengan membangun tembok tinggi antara berbagai entitas tersebut. Masyarakat dikotak-kotakkan. Contoh empiris yang menyajikan ekses ekstrem pendekatan seperti ini adalah politik apartheid di Afrika Selatan pra-Mandela. Kejahatan genosida dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) juga mendapatkan pembenarannya di atas konsep seperti ini.
Sementara, yang dimaksudkan dengan melting pot adalah pencampuran berbagai kebudayaan atau entitas melebur menjadi sesuatu yang baru. Kita bisa menganalogikan konsep ini dengan konsep “senyawa” dalam ilmu kimia. Misalnya, unsur H (hidrogen) direaksikan dengan unsur O (oksigen) dengan ukuran (dalam ilmu kimia diistilahkan “moll”) tertentu akan menghasilkan H2O yang sering kita sebut sebagai air. Ia lebih dari sekadar sebuah larutan (misalnya larutan air dan gula yang kedua unsurnya masih bisa dirasakan kendati sudah menyatu), apa lagi dari sekadar campuran (misalnya tanah dan air dicampur, di mana kedua unsurnya tidak menyatu dan sangat mudah dipilah dan dibedakan). Dalam sejarah dunia, kita mengenal adanya kebudayaan Helenisme zaman Aleksander Agung yang merupakan persenyawaan kebudayaan Yunani dengan kebudayaan wilayah-wilayah taklukannya. Giddens mencontohkan kebudayaan Anglo Amerika untuk menggambarkan model melting pot ini.
Nyata dari berbagai pendekatan tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan. Pendekatan multikulturalisme pun memiliki kekurangan selain kelebihan yaitu sangat rentan dengan bahaya diskriminatif, bahkan oleh orang semacam Dr. Gary Hull, pendekatan ini justru contradictio in terminis dan sarat paradoks. “Distinct but equal”, berbeda tetapi sama. Tetapi, bagaimanapun, pendekatan ini jauh lebih memadai daripada berbagai pendekatan lainnya. Giddens sendiri menganjurkan untuk memadukan ketiga pendekatan asimilasi, melting pot, dan multikultralisme, tetapi seperti apa bentuknya, belum jelas. Selain itu, kita perlu memahami bahwa kecurigaan dan keraguan terhadap multikulturalisme lebih diakibatkan oleh bergesernya wacana tersebut dari memandangnya sebagai pendekatan intelektual dan eksistensial ke pendekatan politik semata. Ketika dipandang sebagai pendekatan politik, ia tidak bisa luput dari bias. Padahal, cukup dipahami secara sederhana saja bahwa inti multikulturalisme adalah relasi makna yang saling bersentuhan untuk mencapai pemahaman yang utuh dan komprehensif atas berbagai kultur.


Sumber:
Abdul Haris Semendawai dan Eddie Sius R. Laggut. Otonomi Daerah dalam Kehidupan Multikulturalitas di Indonesia. Artikel.
\\http://www.forum-ektor.org/artikel.php?hal=3&no=25

0 comments:

Related Posts with Thumbnails
 

About

Text

Recycle Posts Copyright © 2009 Communityiwanul