Sunday, March 14, 2010

Dewa Ruci danFalsafah Jawa

Dalam pewayangan Dewa Ruci dilukiskan ukuran tubuhnya hanya sebesar kelingkng Bima. Diceritakan Dewa Ruci bertemu dengan Bima ksatria Pandawa itu di Tegalsamodra atau pusat samudra. Dalam pewayangan lakon Dewa Ruci atau sering juga disebut dengan lakon Nawaruci, walaupun tubuhnya sekecil itu namun telinganya dapat dimasuki oleh Bima yang bertubuh tinggi dan besar. Di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima merasa dapat menyaksikan matahari, bulan dan jagat raya. Disitulah Bima mendapat wejangan kerohanian, mengenai apa sebenarnya arti hidup dan hakekat kehidupan. Dewa kerdil itu juga dikenal dengan Dewa Bajang atau Marbudingrat.
Para peminat wayang purwa di Indonesia menilai lakon Dewa Ruci sesungguhnya menceritakan perlambangan manusia yang mencari pribadinya, yaitu mencari kebenaran sejati dalam jatidirinya.
Hal tersebut dikisahkan dalam perjalanan Bima mencari sejatining pribadi. Bima di gambarkan berperwatakan tinggi, besar, gagah, berkumis dan berjenggot. Ia mempunyai kuku panjang dan kuat, yang menjadi senjata alamiah disebut kuku Pancanaka. Di kalangan penggemar pewayangan, Bima dianggap mewakili karakter seoang yang jujur, lugas, tidak pandang bulu, ulet tidak pernah putus asa, spontan dan tidak pernah menghindari tantangan. Namun dilain mempunyai sikap yang baik tersebut, Bima juga dikenal sebagai Ksatria yang tidak mengenal belas kasihan terhadap musuhnya yang jahat. Kepala Dursasana dan patih Sengkuni yang dibencinya, Bima melampiaskan dendamnya dalam Baratayuda. Setelah dibunuh, Dursasana dirobek dadanya dan dihirup darahnya. Sedangkan Patih Sengkuni selain dipatahkan kaki dan tangannya, disobek kulitnya, dan juga dirobek mulutnya.
Kebulatan hati dan sifatnya yang pantang menyerah dibuktikan Bima waktu Pandita Drona menyuruhnya mencari Tira Prawitasari. Selain selalu menjunjung tinggi perintah gurunya, Bima sendiri memang bertekad tidak akan berhenti sebelum apa yang dicarinya diperoleh.
Bima diutus untuk mencari "air kehidupan" yang dianggap terdapat di pegunungan Reksa Muka (simbol dari lima indera manusia). Bima tidak menemukan benda tersebut Dalam pengembaraan mencari air suci Prawitasari itu Bima harus menghadapi berbagai ritangan dan tantangan namun semua dihadapi dan dapat ditanggulanginya. Diantaranya di Gunung Candramuka ia harus melawan dua raksasa sakti bernama Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa kembar tersebut hampir saja membunuhnya. Setelah kedua rakasasa itu dikalahkan Bima, mereka berubah wujud menjadi dewa-dewa yaiu Batara Endra dan Batara Bayu. Kedua raksasa tersebut kemudian memberi tahu Bima bahwa air kehidupan tidak terdapat di tempat itu.
Bima kembali untuk menemui Durna untuk meminta tambahan keterangan. Durna mengatakan bahwa air kehidupan itu terdapat di dasar lautan. Bima kemudian mohon pamit pada ibu dan saudara-saudaranya untuk mengembara. Meskipun mereka menahannya, Bima tetap berangkat. Ketika memasuki lautan yaitu di Teleng Samudra, dia diserang oleh seekor ular besar yang hampir membunuhnya yang bernama Nawawata atau Nemburnawa. tetapi dengan kekuatan kuku Pancanakanya, dia dapat membunuh ular tersebut.
Makin dalam memasuki lautan, Bima menjadi tidak sadarkan diri. Ketika ia membukakan matanya, ia melihat mahluk seperti dirinya, tetapi dalam ukuran kecil yakni Dewa Ruci Akhirnya Bima berjumpa dengan sosok dewa yang lama dicarinya.
Dewa Ruci meminta Bima untuk masuk kedalam badannya, melalui telinga kirinya. Walaupun perintah itu tidak masuk akal, karena Bima percaya iapun menurutinya. Didalam tubuh Dewa Ruci yang kerdil itu Bima justru dapat menyaksikan alam semesta yang maha luas tetapi Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan menemukan dirinya berada pada suatu dunia yang sangat mengagumkan, damai, dan indah, dimana ia merasa sangat nyaman dan karena itu Bima ingin tetap tinggal disana. Dewa Ruci kemudian menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya dan makna dari kehidupan. Menjawab keinginan Bima untuk tinggal disana, Dewa Ruci mengatakan ia boleh tinggal disana setelah kematiannya. Tetapi untuk saat ini, ia harus kembali ke bumi bersama dengan saudara-saudaranya untuk melaksakan kewajiban sebagai ksatria. Bima mengikuti Dewa Ruci dan kembali ke dunia nyata untuk melanjutkan perlawanannya memerangi kejahatan, membela saudara-saudaranya melawan Kurawa. Dewa Ruci memberinya wejangan yang begitu berharga yang bermanfaat untuk mengenali diri pribadinya dan mengerti akan makna hidupnya.
Lakon Dewa Ruci sarat dengan filsafat dan konsep religi khas Jawa. Dewa Ruci dianggap sebagai perlambangan dari pribadi Bima yang sesungguhnya. Dalam pewayangan hal tersebut diistilahkan dengan “sejatining pribadi”. Sejatining diri itulah yang menjadikan Bima berusaha menemukan sesuatu yang dianggapnya benar dan baik di dunia ini. Sejatining diri telah membuat Bima untuk bertekad melawan sesuatu yang dianggapnya buruk yaitu melawan kejahatan dan kemungkaran dimuka bumi. Itulah sebabnya tokoh Dewa Ruci hanya muncul sebagai pemeran utama dalam satu lakon saja. Meskipun demikian, dalam berbagai lakon yang menyangkut Bima nama Dewa Ruci terkadang juga disebut.
Di sebagian masyarakat Jawa Dewa Ruci sering dianggap sebagai lambang hati nurani yang ada pada setiap manusia. Dengan adanya nurani maka manusia dapat menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Makna "air kehidupan" yang dianggap terdapat di pegunungan Reksa Muka adalah merupakan simbol dari lima indera manusia. Dimana lima indra tersebut menggambarkann hawa nafsu manusia yang selalu tidak puas dan bersifat serakah. Untuk itu kelima indra harus dijaga supaya hidup tidak terjerumus kepada sesuatu yang buruk. Bila hawa nafsu dapat dikendalikan maka hidup di dunia akan merasa damai aman dan sentosa.
Sebagian dalang yang beragama Islam, terkadang juga memasukkan bagian-bagian ajaran agama Islam dalam wejangan yang disampaikan oleh Dewa Ruci pada Bima. Biasanya hal yang sering disampaikan adalah tentang kelengkapa rukun Islam, dan yang terutama adalah tentang syahadat.
Tokoh Dewa Ruci tidak terdapat dalam kitab Mahabarata, karena lakon carangan ini merupakan pelajaran filsafat khas Jawa, yang dikarang oleh para budayawan kita dahulu. Itulah sebabnya tidak jelas mengenai siapa orang tua dan asal-usul Dewa Bajang itu.



DAFTAR PUSTAKA

Pandam Guritno, Wayang Purwa Program (Festival of Indonesia: USA 1990-1991), Indonesia: Studio'80 Enterprise, 1991.
_______. Ensiklopedi Wayang Indonesia 1: a-b. Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI). Jakarta. 1999.
_______. Ensiklopedi Wayang Indonesia 2: c-d-e-f-g-h-i-j. Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI). Jakarta. 1999.
_______. Ensiklopedi Wayang Indonesia 5: t-u-w-y. Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI). Jakarta. 1999.
Suara Merdeka. Jumat, 09 Maret 2007.

www. wikipedia-wayang-dewa ruci. org

oleh : Aditya

0 comments:

Related Posts with Thumbnails
 

About

Text

Recycle Posts Copyright © 2009 Communityiwanul