IM

Thursday, September 13, 2007

Ramadhan 1428

derak-derik kelakuan seorang manusia mencoba mencari sesuatu
pernah terbesit dlam hati yg terlalu dlam
sehingga terlalu sulit pula untuk mengungkapkan
terkadang mata ini nggak sanggup untuk melihat apa yg ada dlm senyumannya
hanya isyarat bisu saja yang meunculkan sribu pertanyaan.

satu langkah selalu diambil untuk menentukan kmn arah tujuan
satu jengkal saja kita salah menempatkan arah, mungkin akan jauh
dariarah tujuan
tapi dlm suatu hari yang tak pasti, akankah seseorang selalu berjalan pada kebenaran
apakah perlu terkadang kita membnarkan kesalahan untuk memberikan kebenaran yg sulit
di ungkapkan..??

kebenaran dan kebaikan terkadang tidak pernah sejlan,
bahkan malah terkadang kebenaran itu tidak beda dengan kejahatan,
selama hal itu bagian kebaikan yg akn kita lakukan
dan ternyata langkah kita akan selalu qt prtanggung jawabkan....

Tuesday, September 4, 2007

refleksi

tak akan ada satu haripun yang mampu menggantikannya
baunya, warnanya dan keindahannya
aroma khas tanah merahnya menderukan gelora hati
udara dinginnya tak akan bisa tergantikan dgn secangkir kopi

sepasang mata bening menjadi kenang-kenangan abadi
teduh mengisyaratkan maksud hati
gontai berjalan menyusuri jln berbatu
hanya untuk menunjukkan ketulusan kalbu

uwdh dl

Mati Suri



unt seseorang yg trsembnyi
untk seseorang yg tlh mati
drimu kni hanya ratapan hati
tlh prgi dngan stngah hati

untuk drimu yg tersembunyi
kini aku menyanyikan lagu sepi
terasing dlm sunyi, saat janji
tak tertepati

untuk seseorang yang tlh mati
kenyunyian tak kan akan prnah berarti
hati hanya seonggok perih tanpa
tujuan pasti

untukmu yg mati dan tersembunyi
aku tak kan menyayikan galaunya hati
biarlah matahari memberikan sinarnya ke bumi
dan aku tetap akn mencari arti

Thursday, May 24, 2007

Wanita Kumpeni

Wanita Pribumi dan Seorang Kompeni


Sejak berdirinya pada tahun 1619, kota Batavia adalah kota multi etnis, selain dari orang-orang Belanda ataupun Eropa banyak juga orang-orang pribumi yang tinggal di dalam benteng pertahanan tersebut sebagai budak belian. Pada mulanya orang-orang Eropa yang datang ke Batavia adalah para laki-laki bujangan ataupun sudah menikah. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka adalah seorang bujangan yang bekerja sebagai tenaga militer. Bagi mereka yang telah menikah, mereka memilih untuk tidak membawa serta keluarga karena faktor keamanan. Mereka harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, memakan waktu sekitar 7-10 bulan, cuaca yang tidak bersahabat, banyak bahaya yang mengancam menjadikan mereka enggan untuk membawa serta keluarga ke daerah koloni. Ketidak seimbangan jumlah laki-laki Belanda atau Eropa dengan wanita Belanda atau Eropa menimbulkan masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Para laki-laki Belanda/Eropa lebih memilih menikahi atau hidup bersama dengan wanita yang berasal dari perkawinan campur. Kebanyakan wanita dari ayah berdarah portugis dan ibu berdarah Asia. Karena jumlah wanita “indo” sangat terbatas, maka sebagai jalan keluar mereka mulai hidup dengan wanita pribumi, baik dinikahi secara resmi ataupun tidak. [1]

Telah genap lima tahun jendral van Wijk berada di Batavia sejak kedatangannya di tahun 1914. Van Wijk adalah orang kepercayaan J.P. Coen yang sengaja didatangkan dari negeri Belanda. Beliau mempunyai keahlian dalam bidang ekonomi dan komunikasi dengan masyarakat lokal. Sehingga van Wijk mempunyai posisi penting dalam menjalankan roda pemerintahan yang ada. Beliau ditugaskan untuk mengelola perdagangan di daerah perkebunan maupun di pelabuhan. Dengan begitu nama van Wijk sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Batavia ataupun sekitarnya. Sayang kedatangannya ke Batavia tidak beserta istri dan anaknya yang masih berumur lima tahun. Dengan alasan karena jaminan keamanan dan kelancaran kerja, istri dan anaknya di titipkan pada ayah mertuanya di pinggiran kota London sebagai peternak domba. Tak jarang mereka saling berkirim surat untuk mengabarkan perkembangan si kecil dan bertukar cerita.

Di Batavia van Wijk terkenal sebagai pejabat yang santun dan berwibawa, baik dikalangan pejabat ataupun masyarakat pribumi.

Kabut tipis terbalut udara pegunungan yang dingin mengawali hari-hari van Wijk untuk melakukan patroli ke daerah perkebunan. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari itu van Wijk terlihat sangat bugar setelah meminum secangkir racikan teh yang disediakan di balkon depan yang menghadap ke daerah perkebunan.

Baju putih lengan panjang berenda yang dipadukan dengan celana putih tulang sangat pas pada tubuh van Wijk, dengan baju ini beliau terlihat sangat berwibawa dan tampan. Sepatu hitam dari kulit buaya yang dikenakan Wijk juga telah menjadi saksi perjalanan beliau di daerah koloni.

“Tuan ini kudanya sudah siap”, kata Suparmin sambil menuntun kuda putih tegap ke arah van Wijk.

Parmin adalah seorang budak belian yang sudah dibebaskan oleh Wijk dan dipekerjakan sebagai pengurus kuda-kuda milik beliau.

Asap rokok tebal mengepul dari batang cerutu yang diisap wijk. “Iya, terima kasih Parmin”, sahut van Wijk.

“Engrrhh… engrrhh…” ringkik kuda memecah kesunyian pagi itu. Sambil menaiki kuda wijk menghempaskan batang cerutunya ke tanah. “Pleks…” begitu batang cerutu itu menghempas tanah.

“Parmin, Ik berangkat dulu ya”, sahut wijk.

Engrrhh… engrrhh… ringkik kuda seiring tarikan tali kendali, tapal kuda itu mulai menulis di tanah merah yang basah. Sambil diikuti lima orang pengawal dibelakangnya yang berjalan kaki.

“Iya tuan”, jawab parmin sembari meneruskan memberi makan kuda-kuda yang lain.

Kuda putih itu melaju perlahan membelah udara dingin perkebunan, sambil sesekali berhenti untuk melihat apa yang dikerjakan petani. Sangat kontras sekali apa yang terlihat saat itu. Antara kekumelan orang-orang yang bekerja di perkebunan dengan warna serba putih yang dikenakan wijk saat itu.

Dia lebih melambatkan perjalanan ketika tiba ditengah-tengah area perkebunan. Kesibukan para petani terlihat sangat jelas karena sedang masa petik. Berduyun-duyun rombongan perempuan datang dan pergi tanpa henti. Waktu itu matahari masih berada di seperti awal.***

Saminah, wanita yang pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh petik terlihat sangat lesu. Tidak seperti hari-hari biasanya, dia terkenal sebagai gadis yang supel, cantik, dan selalu ramah kepada semua orang. Setiap orang yang ia temuai pasti akan merasa senang, sebab dia selalu ceria dan memberikan kabar baik. Tetapi hari ini berbeda, dengan wajah kuyu dia berjalan menyusuri pematang yang telah biasa dia lewati bersama teman-teman sebayanya. Di pipinya masih terlihat ada bekas tetesan air, di matanya masih terlihat kemerahan, nafasnya juga masih tersenggal-senggal tidak karuan. Kepalanya selalu tertunduk, seakan tidak meu menunjukkan apa yang sedang ia alami.

“Minah… Minah…, tunggu sebentar “, panggil Inem dari ujung jalan tikungan pertama tadi. Inem ialah teman main sejak kecil, hingga sekarang berumur dua puluh tahun mereka masih sering berkumpul dan bercerita. Bagaimana tidak, mereka sama-sama menjadi buruh petik di perkebunan. Meskipun kini Inem telah mempunyai suami dan seorang anak.

Minah seakan-akan tidak mendengar panggilan Inem yang parau itu. Jalannya tidak berubah, kencang ataupun melambat. Hanya lengosan kecil reflek dari panggilan itu. Dengan langkah gontai seakan tidak punya sedikit pun semangat.

“teplek.. teplek… teplek..”, begitu suara kaki inem berusaha mengejar minah yang ada di ujung jalan tadi. “Minah… minah.. tungggu sebentar, aku mau ngomong nih..”, Inem mengulanginya seraya berlari ke arah minah. Dengan nafas yang terengah-engah dia memukul pundak Minah, “hei tunggu, dipanggil-panggil ko nggak berhenti, aku mau ngomong sesuatu nih”. Masih dengan berjalan kecil Inem berusaha menyapa dan membuka percakapan dengan Minah, meskipun harus mengukuti irama kaki minah yang kadang pelan dan kadang kencang, seakan tidak mau mendenarkan cerita sahabatnya itu.

“Minah berhenti sebantar, aku mau ngomong..!” sentak Inem seraya menarik pergelangan tangan kiri minah.

“srek..”, mendadak suasana lengang sekali. Tidak ada suara sedikitpun, hanya kicau burung yang tadi tertutupi oleh suara minah yang brisik dan nafas yang sedikit terputus-putus.

Mata mereka saling bertatapan, detak jantungpun serasa ikut menggetarkan tanah basah yang mereka pijak, “Jedug.. jedug.. jedug..”.

Tarikan nafas Inem semakin sulit, terkejut melihat raut muka Minah yang tidak pernah ia lihat. Seribu pertanyaan dan kekhawatiran menyesakkan kepala inem yang dibalut rambut hitam ikalnya itu.

Dengan tarikan nafas panjang, inem memberanikan diri untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi.

Tangan kiri Inem menggapai tangan kanan Minah, sekarang kedua tangan minah ada digenggaman tangan Inem. Tangan kanan Inem yang dari tadi memegang pergelangan tangan kiri Minah semakin erat dipegang.

“Minah.. ada apa, kamu habis menangis ya..?”, tanya Inem perlahan. “Cerita saja ke aku, siapa tahu saya bisa bantu”, sambung inem dengan suara beratnya.

Minah hanya diam saja, kepalanya semakin tertunduk ketika inem berusaha menatap matanya. “Ada apa minah..?”, tanya inem kembali seraya tangan kanannya memegang dagu minah untuk menganggat mukanya.

Dengan tengokan sedikit minah menepis tangan inem yang ada di dagu, “tidak ada apa-apa”. Suaranya terdengar sangat berat ditelinga. “tidak ada apa-apa kok nem, tadi cuma kemasukan debu dimataku”, sambung Minah. “lha kenapa tadi ko tidak berhenti saya panggil-panggil, tapi… saya melihat ada sesuatu yang lain didirimu, jujur saja apa yang terjadi, aku kan teman mu dari kecil, jika itu rahasia aku bisa menjaganya ko” imbuh Inem dengan raut muka penuh rasa ingin tahu.

“ti.. tidak.., tidak ada apa-apa ko, seperti apa yang aku bilang tadi, mataku cuma kemasukan debu”, tak terasa setetes air mata jatuh di pipi minah seiring bantahan minah kepada Inem. Minah seakan tidak kuasa lagi menahan luapan hatinya. Air matanya semakin deras membasahi pipi dan lengan bajunya yang digunakan untuk menyapu air matanya yang jatuh setes demi setetes.

Minah tahu bahwa dia sudah tidak sanggup lagi menutup-tutupi kegundahan hatinya. Kini minah tidak hanya meneteskan air mata, tapi juga menangis dalam pelukan inem. Inem tidak sanggup berbuat apa-apa ketika bahunya telah basah dengan air mata minah. Tangan kanan inem dengan sigap mengelus kepala minah, “sudah-sudah… tidak apa-apa”, imbuh Inem, “coba cerita ke aku apa yang sebenarnya terjadi. Inem membiarkan minah meluapkan emosinya dalam pelukannya.

Setelah tangisannya agak reda, Inem perlahan-lahan mengendurkan pelukannya. Diusapnya sisa air mata yang ada dipipi dan sudut mata minah, “sudah.. sudah..”, kata inem sembari mengajak minah untuk duduk di bawah pohon randu yang menjulang tinggi, yang sekan-akan memang menggambarkan keangkuhan hidup.

Pohon randu itu akan menjadi saksi bisu rintihan hati seorang gadis desa.

Setelah berdua duduk diatas batu hitam, perlahan inem menyuruh minah untuk bercerita kepadanya apa yang telah menimpa dirinya, “coba nah kamu cerita ke aku, siapa tahu aku nanti bisa membantu apa masalahmu”, tanpa sempat dijawab minah, “… apa ada masalah keluarga lagi?”, imbuh Inem.

Kemarin memang minah baru mengalami masalah dengan keluarga, bahwa orang tuanya melarang minah berhubungan dengan Parno, lelaki yang telah menjadi tambatan hatinya.

Dengan nafas berat Minah mulai mau membuka mulut.

Air matanya menetes kembali, “aku tak tahu harus bilang apa ke kamu, aku sendiri bingung… kenapa hidup ini tidak adil…!”, sahut Minah. Minah hanya tertunduk, air matanya semakin deras mengucur melewati paras nya yang cantik sampai menyentuh ujung baju lusuh yang dipakainya. Inem tak sampai hati melihat minah menangis tersedu-sedu, dipeluknya minah dari samping kanan oleh Inem.

“nem, apa yang harus aku perbuat, aku sendiri tidak tahu kenapa orang tuaku setega itu kepada ku… apakah aku ini bukan anak mereka…”, lanjut minah kepada inem.

“hus jangan begitu, pamali tahu.., tidak boleh menjelek-jelekkan orang tua sendiri, nanti kualat”, balas inem nengan nada agak meninggi, “memang masalahmu apa, ko sampai sebegitunya sama orang tua?”.

“Hiks.. hiks…”, tangisan minah masih terdengar.

Perlahan tangisan minah melirih, diusapnya muka minah dengan lengan panjangnya, duduknya mulai tegap, terlihat jelas bahwa minah sudah siap membicarakan sesuatu. Tangan inem yang merangkul minah perlahan-lahan ditarik dilepaskan. Dengan mata berkaca-kaca, minah mulai menatap mata sahabatnya itu.

“nem.., ak.. aku mau di jual sama ayah ku..”, kata minah dengan suara parau, “aku mau dijual sama orang Belanda kaya, apa yang harus aku perbuat nem”, imbuhnya.

Inem hanya diam saja, sekarang gantian inem yang tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya mulai basah dengan air mata, tubuhnya lemas seakan tak bertulang, urat-urat nadinya seakan tersumbat oleh darahnya sendiri. “deg.. deg..deg..”, suara jantungnya seakan dapat didengar dari jarak seratus meter.

“nem.. nem…, kenapa kamu..?”, pertanyaan minah seakan berusaha menyadarkan inem dari lamunannya, “kamu tidak apa-apa kan?”, imbuhnya.

“ti.. tidak ko, aku uga terkejut dengan ceritamu.., apa itu benar nah..?’, jawab inem seraya bertanya balik kepada minah. “Aku sepertinya ko tidak percaya dengan apa yang aku dengar tadi”, imbuh inem.

“benar.., aku tidak bohong ke kamu, pada awalnya aku sendiri juga tidak percaya dengan keputusan orang tuaku, tapi selama seminggu ini orang tuaku terus saja menyinggung hal itu, apakah aku tidak cukup percaya dengan kenyataan yang kuhadapi..!, ternyata aku harus puas dengan menjadi dagangan keluarga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka…! ”, sambung minah dengan nada tinggi. “kenapa harus aku..?”, pertanyaan minah yang seakan memah tak ada jawabannya.

“tenang ya nah, kamu sabar dulu, siapa tahu nanti ayah mu mau mengurungkan niatnya”, hanya itu kata-kata yang bisa terucap dari mulut inem, “aku juga tidak tahu apa yang akan aku perbuat jika aku jadi kamu”, kata inem agak menghibur, “hanya saja aku berharap agar agar kamu jangan mengecewakan banyak orang”, imbuhnya.

Kata-kata itu membuat minah sangat bingung. Apa maksud inem berbicara seperti itu. Apa minah harus setuju dengan keputusan ayahnya?

Seraya menagis tersedu-sedu, “jadi maksudmu aku harus setuju niat orang tua..?, ternyata kamu sama saja nem, aku kira kamu benar-benar sahabatku…” kata minah dengan sangat emosi. Tanpa sempat inem menjawab, minah langsung berlari meninggalkan inem sendirian di bawah pohon randu itu. “nah.. nah.. tunggu…!”,teriak inem berusaha mengejar lari minah. Tapi ditikungan kedua inem telah kehilangan jejak minah yang berlari meninggalkannya.***

bersambung...

[1] Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006, hal.51

Friday, March 16, 2007

Pelecut Hati

mulailah dari berfikir
gerakkan jari-jari kakimu
yakinkan kakimu tuk berdiri
satu langkah kecil
pastikan dirimu tidak pada tmpt yg sama
buat jejak-jejak kaki mu dgn jelas
buktikan dirimu ada
buktikan dirimu mampu membuat realita
tapi cukup berlari
kamu tak butuh terbang
buktikan dengan perbuatan
bukan cuma impian
........
Related Posts with Thumbnails
 

About

Text

Recycle Posts Copyright © 2009 Communityiwanul